PENERAPAN ASAS-ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

Kamis, 16 September 2010

I.        PENDAHULUAN
Pengaruh era globalisasi di segala bidang kehidupan masyarakat kini tidak dapat terelakkan dan sudah dapat dirasakan hampir di semua negara, terutama di negara berkembang seperti Indonesia pada umumnya. Pengaruh ini ada yang berdampak positif dan ada yang berdampak negatif.
Pengaruh positif yang dapat dirasakan di antaranya adalah adanya peningkatan hubungan masyarakat internasional yang pesat di bidang perekonomian pada umumnya dan bidang perdagangan pada khususnya. Pengaruh yang berdampak negatif antara lain meningkatnya lalu lintas tindak pidana lintas teritorial antara satu negara dengan negara lainnya.
Perkembangan tindak pidana ini selain telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan kepentingan kesejahteraan, keamanan dan ketertiban suatu negara, juga telah menimbulkan sensitivitas hubungan diplomatik antara negara-negara yang terlibat dalam jaringan tindak pidana yang berdimensi internasional
Salah satu dampak tindak pidana internasional yang dapat menimbulkan sensitivitas hubungan diplomatik (karena dominannya faktor politik dalam penyelesaian kasus pidana yang melibatkan lebih dari satu negara) antara satu negara dengan negara lainnya adalah masalah pertautan yuridiksi kriminal.
Dalam KUHP Indonesia secara tersirat disebutkan beberapa asas yang menjadi landasan bagi pembentukan serta pemberlakuan hukum pidana atas suatu peristiwa pidana menurut tempat yaitu asas teritorial, asas personalitas berdasarkan kewarganegaraan aktif, asas personalitas berdasarkan kewarganegaraan pasif dan yang terakhir adalah asas universal. Asas-asas ini merupakan dasar yang di atasnya dapat dilaksanakan yuridiksi suatu negara.         
Asas-asas tersebut juga dianut oleh sebagian besar hukum pidana negara lain di dunia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas-asas tersebut merupakan asas-asas hukum pidana internasional yang berlaku umum.
Penerapan asas-asas tersebut oleh negara-negara dalam rangka menerapkan hukum pidana nasionalnya masing-masing dalam beberapa masalah dapat menimbulkan pertautan yuridiksi, di antaranya adalah terhadap tindak pidana yang melibatkan dua negara atau lebih. Begitu juga dengan hukum pidana Indonesia dalam kasus pidana yang memiliki dimensi internasional (transnasional).
Dalam hukum pidana Islam sendiri meskipun secara teoretis ajaran Islam untuk seluruh dunia (universal), peraturan-peraturannya tidak saja mengikat kaum muslimin yang hidup di bawah kekuasaan negara Islam melainkan juga mereka yang berada di luar kedaulatan negara Islam, akan tetapi pada dataran praktis tidaklah demikian. Amin  Widodo berpendapat bahwa meskipun pada asasnya hukum Islam itu berlaku universal akan tetapi dilihat dari segi ‘amaliyyah-nya adalah bercorak iqlimiyyah, artinya hukum Islam hanya dapat diterapkan dalam lingkungan yuridiksi dar as-salam.
Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa hukum Islam mempunyai batasan mengenai kekuasaan berlakunya ketentuan pidana dilihat dari segi tempat. Tidak di segala tempat (wilayah atau negara) hukum Islam dapat diterapkan, bahkan dalam negara yang hukum-hukumnya dibangun berlandaskan syariat Islam sekalipun terkait dengan siapa yang menjadi pelaku dan di mana perbuatan tersebut dilakukan.
Terkait dengan bahasan di atas yang kemudian menjadi persoalan adalah bila seorang penduduk Indonesia atau penduduk negara yang memakai hukum pidana positif melakukan suatu tindak pidana di negara yang menerapkan aturan pidana Islam (dar as-salam) atau sebaliknya, bagaimana jika seorang muslim atau seorang penduduk dar as-salam melakukan tindak pidana di Indonesia atau negara yang landasan hukumnya berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum pidana positif. Ketentuan hukum pidana manakah yang berlaku dalam kasus tersebut.
II.     PENERAPAN ASAS-ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT DALAM   HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF: ANALISIS PERBANDINGAN
A. Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Kedaulatan Teritorial
Pada dasarnya suatu negara memiliki wewenang untuk menerapkan undang-undang pidana terhadap setiap kejahatan yang dilakukan di wilayah teritorial, baik pelakunya sebagai warga negara tersebut maupun bukan. Hal ini dikarenakan setiap negara yang berdaulat wajib menjamin ketertiban hukum yang terjadi di wilayahnya. Selain itu setiap negara yang berdaulat mempunyai kewajiban untuk tidak melaksanakan kedaulatan di wilayah negara lain.
Pembagian negara atau sistem pemerintahan kepada dar as-salam dan dar al-harb bukan berarti hanya ada dua sistem pemerintahan dalam Islam. Pembagian ini lebih dimaksudkan pada pembagian wilayah sebagai wilayah yang aman – dar as-salam - bagi umat Islam dan yang kedua sebagai wilayah permusuhan/perang – dar al-harb - bagi kaum muslimin. Selain itu, pembagian negara dimaksudkan untuk menentukan hukum yang berlaku di kedua bentuk negara tersebut.
Negara-negara Islam, meskipun berbeda dalam sistem pemerintahan dianggap sebagai satu negara (dar) dikarenakan negara-negara Islam, dalam masalah penerapan hukum mempunyai asas yang sama, yaitu berlandaskan syariat Islam. Dari segi ini, negara-negara Islam mempunyai satu kesatuan hukum dan oleh karenanya tiap dar as-salam dianggap sebagai wakil bagi dar as-salam yang lain dalam penerapan hukum pidana.
Pandangan ini tidak berbeda terhadap dar al-harb, seluruh negara yang tidak menerapkan ketentuan syariat Islam dianggap sebagai dar al-harb, meskipun negara-negara tersebut mempunyai sistem pemerintahan yang berbeda. Berdasarkan hal ini pula dapat disimpulkan bahwa dalam masalah penerapan hukum dapat di tentukan oleh batas-batas wilayah negara – serta sistem hukum yang berlaku di dalamnya - dan juga berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
Dalam hukum pidana Islam dikenal beberapa kaidah mengenai ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masalah pidana. Kaidah-kaidah ini merupakan pedoman dalam pelaksanaan maupun pengguguran hukuman. Selain itu, kaidah-kaidah ini juga sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengetahui hak milik serta batasan-batasannya.
Kaidah-kaidah ini di antaranya adalah:
لا عقوبة ولا جريمة إلاّ بالنّصّ     ]
Ketentuan mengenai termasuk atau tidaknya suatu perbuatan dalam jarimah haruslah menurut nas (al-Qur’an dan Hadits). Berdasarkan hal ini, kejahatan-kejahatan yang dapat dihukum berdasarkan pidana Islam telah diatur oleh nas yang merupakan rukun Syari’ dalam pidana Islam. Adapun ketentuan mengenai nas adalah bahwa nas tersebut harus berlaku – tidak dimansukh - ketika dilakukannya perbuatan. Yang kedua adalah bahwa nas tersebut harus berlaku – dapat menjangkau - di tempat terjadinya perbuatan. Ketentuan selanjutnya adalah bahwa nas harus berlaku bagi pelaku atau nas tersebut merupakan peraturan yang mengikat baginya.
Kaidah yang kedua adalah:
جميع المقيمين في دار الإسلام بلا استثناء متساوون أمام الشّريعة
Dari kaidah ini dapat dijelasakan bahwa seluruh umat muslim di dar as-salam memiliki hak serta kewajiban yang sama meskipun mereka berasal dari wilayah yang berbeda. Persamaan dalam hukum, juga mencakup setiap orang non-muslim yang berada di dar as-salam dikarenakan mereka ketika berada di dar as-salam, juga memiliki hak serta kewajiban sebagaimana penduduk muslim.
Kaidah ketiga berbunyi:
ليس لأيّ كان حقّ العفو عن الجرائم الّتى تتعلّق بحقّ الله, والّتي تدعى جرائم الحدود

Bahwa para pemimpin dan siapa saja di dar as-salam tidak mempunyai hak untuk memaafkan suatu kejahatan hudud. Tidak adanya hak untuk memaafkan atau menggugurkan hukuman juga berlaku terhadap korban dan orang yang menjadi wali korban.
Dalam penerapan teori para imam madzhab mengenai ruang lingkup berlakunya ketentuan pidana, perbedaan atau banyaknya negara Islam – dengan sistem pemerintahan yang berbeda – bukan merupakan satu hambatan. Bila teori Imam Abu Hanifah diterapkan oleh suatu negara (dar as-salam), maka setiap orang – muslim maupun zimmiy - yang berbuat jarimah di negara tersebut berhak mendapat hukuman atas pelanggaran yang dilakukan, baik sebagai penduduk tetap maupun penduduk dar as-salam lainnya.
Abu Hanifah berpendapat bahwa setiap anggota masyarakat dari negara Islam – dengan ke-Islaman maupun akad zimmah - merupakan warga dari negara tersebut. Oleh karenanya setiap penduduk muslim dari suatu negara Islam, tidak dianggap sebagai warga asing di negara Islam lainnya dan baginya berlaku ketentuan yang sama dalam masalah hukum. Terhadap mereka berlaku ketentuan pidana Islam di negara Islam di mana ia berada.
Dalam masalah penerapan hukum, selain berdasarkan kewarganegaraan – dengan ke-Islaman maupun berdasarkan akad zimmah – Abu Hanifah mensyaratkan adanya kedaulatan terhadap tempat. Bila seorang harbiy masuk Islam di negaranya dan belum pindah atau berhijrah ke dar as-salam maka, hukum pidana Islam tidak dapat menjangkau atau tidak berlaku bagi kejahatan yang ia lakukan di negaranya (dar al-harb).
Hal ini dikarenakan ketika ia melakukan kejahatan, ia berada di wilayah yang di dalamnya tidak ada kedaulatan negara Islam yang mengakibatkan tidak adanya kemampuan bagi penguasa dar as-salam untuk memberlakukkan serta memberi hukuman kepada pelaku sesuai dengan ketentuan hukum pidana Islam. Aspek tempat inilah yang kemudian menjadi titik tolak dalam penerapan hukum pidana Islam dalam teori Abu Hanifah mengenai ruang lingkup berlakunya hukum pidana.
Berdasarkan hal ini pula jika seorang penduduk dar as-salam melakukan suatu kejahatan – dalam pandangan hukum Islam – di dar al-harb maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman berdasarkan ketentuan hukum pidana Islam melainkan dihukumi berdasarkan hukum pidana yang berlaku di dar al-harb. Negara tersebut (dar al-harb) dapat memberlakukan hukum pidana yang berlaku berdasarkan asas teritorial yang dianut oleh negara tersebut dan jika menganggap bahwa hal tersebut adalah suatu kejahatan.
Keberadaannya penduduk dar as-salam di dar al-harb meniadakan kewajiban bagi penguasa untuk memberi hukuman terhadapnya. Begitu juga sekembalinya ia ke dar as-salam, kejahatan yang ia lakukan di dar al-harb tidak mengharuskan ia mendapat hukuman di karenakan ketika ia melakukan kejahatan tersebut ketentuan pidana Islam (nas) tidak menjangkau apa yang ia lakukan. 
Berkaitan dengan penerapan teori Abu Hanifah terhadap seorang muslim yang menjadi penduduk dar al-harb, hijrahnya seorang harbiy yang telah masuk Islam dari dar al-harb ke dar as-salam dijadikan syarat keweganegaraan dar as-salam menurut Abu Hanifah. Selama ia belum pindah ke dar as-salam maka hukum pidana Islam belum berlaku bagi pelanggaran-pelanggaran yang ia lakukan di dar al-harb. Hukum pidana yang mengikat baginya adalah hukum pidana yang berlaku di negara tersebut.
Negara Islam, meskipun bukan negara nasionalis, namun tetap membatasi kewarganegaraan hanya bagi mereka yang menetap di wilayah dar as-salam dan orang-orang yang telah berhijrah ke dalamnya. Firman Allah dalam al-Qur’an:
إنّ الّذين آمنوا وهاجروا وجاهدوا بأموالهم وأنفسهم في سبيل الله والّذين أووا وّنصروا أولئك بعضهم أولياء بعض والّذين أمنوا ولم يهاجروا ما لكم من وّلايتهم من شيء حتّى يهاجروا وإن استنصروكم في الدّين فعليكم النّصر إلاّ على قوم بينكم وبينهم ميثاق والله بما تعملون بصير[9]

Pada ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai kepala negara Islam, dibebaskan dari segala macam tanggung jawab terhadap orang-orang muslim yang bukan warga negara dari negara Islam.[10]         
Ketentuan mengenai bolehnya setiap dar as-salam untuk menerapkan hukum Islam terhadap seorang penduduk dar as-salam di dar as-salam yang lain, berlaku selama pelanggaran yang dilakukan belum diadili oleh salah satu dar as-salam – yang menjadi asal pelaku, dar as-salam yang menjadi tempat dilakukannya perbuatan maupun dar as-salam yang menjadi tempat pelarian bagi pelaku. Begitu juga bila pelanggaran yang dilakukan telah dijatuhi bukan berdasarkan ketentuan pidana Islam maka, pelanggaran tersebut harus kembali diadili dengan ketentuan syariat Islam di dar as-salam yang bermasud untuk mengadili.
Mengenai para musta’min, Abu Hanifah berpendapat bahwa ketentuan pidana Islam tidak berlaku kecuali terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan hak-hak individu selain hudud dan qisas. Oleh karenanya, seorang musta’min yang melakukan suatu kejahatan yang  berkaitan dengan hak-hak jama’ah atau hak Allah di dar as-salam tidak dapat dikenai hukuman berdasarkan ketentuan hukum pidana Islam. Hal ini dikarenakan keberadaan seorang musta’min di dar as-salam adalah dalam rangka bermu’amalah seperti berdagang atau lainnya. 
Dalam hukum pidana positif, penerapan hukum pidana suatu negara terhadap kejahatan yang terjadi di dalam batas-batas wilayah negara didasarkan atas asas teritorial. Tidak ada ketentuan tentang kejahatan seperti apa yang tunduk pada asas teritorial suatu negara. Dalam KUHP Indonesia hanya disebut ketentuan umum bahwa undang-undang pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana dalam wilayah Indonesia.
Penerapan hukum pidana yang didasarkan pada asas teritorial ini berlaku umum, dalam artian bahwa setiap kejahatan yang terjadi di wilayah teritorial Indonesia tunduk pada perundang-undangan pidana nasional. Ketentuan ini berlaku bagi siapa saja yang melakukan suatu kejahatan di wilayah yuridiksi Indonesia tanpa memandang kewarganegaraan pelaku.
Asas teritorial dilandasi oleh bermacam prinsip yang di antaranya adalah bahwa kejahatan yang terjadi di suatu wilayah negara harus diatasi oleh negara dimana kejahatan itu terjadi. Pertimbangan lainnya adalah bahwa negara yang menjadi tempat terjadinya kejahatan adalah negara yang – di anggap - memiliki kepentingan paling kuat, memiliki fasilitas paling baik serta memiliki perangkat paling kuat untuk menerapkan hukum pidananya terhadap kejahatan yang dilakukan baik oleh warga negaranya maupun oleh oleh orang-orang asing yang berada di wilayahnya.
Selain memiliki hak serta kekuasaan terhadap kejahatan yang terjadi di wilayah teritorial, suatu negara – dalam pandangan hukum internasional – juga memiliki hak-hak istimewa bagi duta-duta diplomatiknya di negara lain Hak istimewa ini dapat dinikmati berupa hak immunitas atau kekebalan hukum terhadap yuridiksi sebuah negara.
Hal ini mengakibatkan adanya pengecualian bagi mereka yang memiliki hak tersebut dalam penerapan hukum pidana suatu negara. Dengan kata lain, mereka yang mendapat hak immunitas, meskipun mereka melakukan suatu kejahatan di wilayah teritoir Indonesia, hukum pidana Indonesia tidak dapat di terapkan terhadap mereka.[14]
Dengan adanya pengecualian ini maka dapat disimpulkan bahwa meskipun setiap negara berdaulat memiliki hak untuk memberlakukan hukum pidana nasionalnya terhadap pelaku kejahatan di wilayahnya, dengan adanya pengecualian bagi mereka yang mendapat hak immunitas, penerapan hukum pidana berdasarkan asas teritorial tidak berlaku secara mutlak. Dalam penerapannya, asas ini dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang berlaku menurut hukum internasional. 
Wilayah yang termasuk teritorial, selain wilayah tanah adalah wilayah perairan dan udara. Ini merupakan perluasan bagi berlakunya hukum pidana dari segi tempat. Dengan adanya perluasan ini maka, kejahatan yang terjadi di dalam kendaran air dan juga pesawat Indonesia tunduk pada perundang-undangan pidana Indonesia.
Dalam penerapannya, tidak semua kapal atau perahu dianggap sebgai perpanjangan dari wilayah teritorial. Hanya kapal yang berada di lautan terbuka yang di dalamnya dapat ditegakkan kedalatan teritorial. Berdasarkan hal ini, setiap kejahatan yang dilakukan di atas kapal berbendera Indonesia, tunduk pada ketentuan hukum pidana Indonesia.
Berdasarkan hal ini setiap kejahatan yang dilakukan oleh seorang penduduk dar as-salam di Indonesia atau di negara yang menerapkan hukum pidana positif serta mengakui adanya asas teritorial baik dilakukan di wilayah tanah, perairan maupun udara dan juga dalam perahu dan pesawat udara Indonesia maka terhadap kejahatan tersebut dapat diberlakukan hukum pidana yang berlaku di Indonesia atau negara yang menerapkan hukum pidana positif. Adapun ketentuan hukum pidana Islam dalam hal ini tidak dapat diberlakukan dikarenakan keberadaan pelaku di luar wilayah kekuasaan dar as-salam. Berdasarkan hal ini pula negara tempat dilakukannya perbuatan – dar al-harb dapat memberlakukan hukum yang berlaku berdasarkan asas teritorial. Hal ini apabila perbuatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam tersebut dianggap sebagai kejahatan dalam hukum pidana positif. 
Persamaan antara teori Abu Hanifah dengan asas teritorial dalam hukum pidana positif adalah pada adanya penekanan terhadap tempat sebagai dasar bagi pemberlakuan ketentuan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan. Dalam pendapat Abu Hanifah, hal ini dapat dilihat dengan berlakunya ketentuan jarimah terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam, baik pelakunya seorang muslim maupun zimmiy. Ini merupakan suatu keharusan bagi tiap negara untuk memberlakukan hukum pidananya terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di wilayahnya. Selama kejahatan tersebut terjadi di dalam batas-batas wilayah negara, maka hukum pidana yang berlaku dapat menjangkau serta berlaku terhadap pelaku. Oleh karenanya hukum pidana Islam berlaku bagi kejahatan yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di dar as-salam. 
Selain itu, tidak diberlakukannya hukum pidana bagi kejahatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb, melainkan diberikannya wewenang kepada penguasa dar al-harb untuk melaksanakan hukuman kepada pelaku berdasarkan asas teritorial yang berlaku merupakan ketentuan yang timbul akibat dari disyaratkannya kedaulatan/kekuasaan terhadap tempat dalam penerapan hukum pidana.
Mengenai para kepala negara dan para konsul yang berada atau sedang berkunjung di dar as-salam, seperti halnya seorang musta’min yang bebas dari ketentuan pidana terkecuali terhadap pelanggaran yang menyangkut hak individu. Pendapatnya ini seperti di berlakukannya hak immunitas bagi para kepala negara asing dan para konsul dalam teori hukum pidana positif, hanya saja dalam hukum positif ketentuan mengenai tidak berlakunya hukum pidana nasional terhadap mereka berlaku secara mutlak, dalam artian bahwa hukum pidana nasioanal tidak berlaku bagi mereka dalam keadaan bagaimanapun. Adapun hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang berlaku di negara mereka. Hak penuntutan serta pengadilan diserahkan kepada negara tersebut.
Mengenai para konsul negara asing di dar as-salam, hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang berlaku bagi seorang musta’min. dengan demikian, hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum yang menyangkut hak individu. Ini merupakan perbedaan antara pendapat Abu Hanifah dengan hukum pidana positif mengenai para konsul negara asing.
Berdasarkan teori Abu Hanifah, suatu negara Islam dapat memberlakukan hukum pidana Islam dalam kapal maupun perahu milik – berbendera – negara tersebut. Seperti halnya markas-markas tentara muslim di medan perang yang dianggap sebagai wilayah kedaulatan dar as-salam, begitu juga terhadap kapal/perahu milik suatu dar as-salam.. Berdasarkan pendapat Abu Hanifah yang menekankan adanya kekuasaan terhadap tempat maka kapal tersebut dapat dianggap sebagi perluasan bagi wilayah dar as-salam dan oleh karenanya hukum pidana Islam berlaku terhadap kejahatan yang terjadi di dalamnya baik pelakunya sebagai warga dar as-salam maupun warga dari negara yang menerapkan hukum pidana positif seperti halnya Indonesia.

B. Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Kewarganegaraan (Nasionalitas)

Penerapan teori Imam Abu Yusuf mengenai ruang lingkup berlakunya ketentuan hukum pidana Islam, selain ketentuan-ketentuan di atas – pendapat Abu Hanifah – maka, terhadap orang-orang asing – musta’min - yang berada di dar as-salam, harus dihukumi berdasarkan ketentuan pidana Islam jika mereka melakukan salah satu pelanggaran pidana di dar as-salam mana saja ia berada. Begitu juga bila ia telah dihukumi tidak berdasarkan ketentuan pidana Islam maka ia harus kembali diadili dengan ketentuan pidana Islam.
Hal ini berdasarkan pendapatnya mengenai para musta’min yang berkunjung ke dar as-salam, yaitu bahwa bagi mereka berlaku ketentuan pidana Islam seperti halnya seorang zimmiy. Menurut pendapatnya bahwa bagi seorang musta’min berlaku ketentuan hukum Islam dalam segala kejahatan, bukan hanya dalam masalah kejahatan yang menyangkut hak individu.
Perbedaan pendapat antara keduanya hanya berkisar pada penerapan hukum riba yang dilakukan oleh seorang muslim dan maupun dengan penduduk dar al-harb yang tidak berhijrah ke dar as-salam. Meskipun akad riba tidak diharamkan di dar al-harb, akan tetapi bagi seorang muslim, akad tersebut merupakan akad yang diharamkan maka, perbuatan ini tidak boleh dilakukan meskipun di dar al-harb.
Perbedaan yang kedua adalah mengeni seorang muslim atau zimmiy yang melakukan pembunuhan terhadap seorang muslim yang berada di dar al-harb – belum hijrah ke dar as-salam. Abu Hanifah berpendapat bahwa terhadap pelaku kejahatan tersebut tidak dapat diterapkan ketentuan qisas dan juga diyat, sedangkan Abu Yusuf berpendapat bahwa terhadap pelaku tetap dapat diterapkan hukuman berupa diyat.
Berdasarkan ketentuan ini maka terhadap kejahatan yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di dar as-salam maka tunduk terhadap hukum pidana Islam. Hal ini disebabkan terhadap setiap kejahatan yang terjadi di wilayah dar as-salam berlaku hukum pidana Islam tanpa melihat kewarganegraan pelaku, baik ia sebagai warga dar as-salam maupun warga dar- al-harb. Dalam hal ini negara Indonesia memberikan wewenang kepada dar as-salam untuk mengadili serta menuntut pelaku meskipun ia merupakan warga Indonesia. 
Penerapan hukum pidana, dalam konteks kedaulatan negara yang berkaitan dengan kewarganegaran pelaku, maka asas nasionalitas (kewarganegaraan) merupakan landasan hukum bagi suatu negara untuk menerapkan hukum pidana terhadap warganya terlepas di mana locus delicti itu berada.
Berbeda dengan penerapan hukum pidana berdasarkan asas teritorial, penerapan hukum pidana berdasarkan asas kewarganegaraan dalam hukum pidana positif, tergantung pada kualitas orang yang terlibat dalam peristiwa hukum. Penerapan hukum pidana terhadap individu dapat dibenarkan bila orang tersebut berada dalam kekuasaan negara (sebagai warga negara). Berdasarkan ketentuan ini, kewarganegaraan pelakulah yang menjadi ukuran untuk dapat tidaknya hukum pidana suatu negara diberlakukan terhadap seseorang yang melakukan suatu tindak pidana di suatu negara selain wilayah teritorial negara kebangsaan. Kewarganegaraan merupakan satu-satunya hubungan antara individu dengan negara yang menjamin bahwa terhadapnya dapat diberikan hak dan kewajiban dalam hukum internasional.
Penerapan hukum pidana terhadap warga negara dalam praktek hukum internasional, pada dasarnya diterapkan berdasarkan asas kewarganegaran (nasionalitas) aktif dan asas kewarganegaraan (nasional pasif).
Berdasarkan asas kewarganegaran aktif, negara dapat menerapkan aturan perundang-undangan pidana terhadap warganegaranya. Dengan diakuinya asas ini sebagai salah satu pedoman dalam pelaksanaan/penerapan hukum pidana maka, setiap warganegara terikat oleh perturan pidana negaranya di manapun ia berada.  
Mengenai penerapannya, dalam KUHP Indonesia ditentukan mengenai berlakunya ketentuan pidana Indonesia terhadap warganegara Indonesia yang melakukan  kejahatan-kejahatan tertentu di luar wilayah Republik Indonesia. Kejahatan yang tunduk pada asas nasionalitas aktif adalah berupa pelanggaran terhadap negara, pelanggaran tehadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, penghasutan,] menyebarluaskan tulisan dengan tujuan untuk menghasut, dengan sengaja membuat diri maupun orang lain menjadi tidak cakap untuk memenuhi kewajiban militer dan kejahatan perampokan (pembajakan) di laut.
Kejahatan-kejahatan ini merupakan kejahatan yang tunduk terhadap ketentuan perundang-undangan pidana Indonesia meskipun pelaku – yang merupakan warga negara Indonesia - berada di luar wilayah kedaulatan Indonesia. Berdasarkan hal ini pula setiap kejahatan – tertentu – yang dilakukan oleh seorang warga Indonesia di dar as-salam maka hukum pidana Indonesia dapat diberlakukan kepada pelaku dengan meminta kepada penguasa dar as-salam untuk menyerahkan pelaku kepada penguasa Indonesia untuk dihukumi berdasarkan ketentuan hukum pidana Indonesia.   
Untuk menghindari pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain – di mana pelaku berada – maka kejahatan-kejahatan tersebut juga harus dianggap sebagai kejahatan di negara yang menjadi tempat dilakukannya kejahatan hingga dalam penyelesaian terhadap salah satu pelanggaran ini dapat ditempuh jalur ekstradisi.
Hukum pidana merupakan sistem aturan yang mengatur semua tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh warga negara. Pelarangan tersebut dikarenakan perbuatan-perbuatan tertentu dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia, kepentingan masyarakat umum dan kepentingan pemerintahan dan negara
Adapun asas kewarganegaraan pasif, prinsip ini membenarkan sebuah negara untuk memberlakukan hukum pidananya terhadap kejahatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik ia warga Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar wilayah Indonesia.
Dasar yang merupakan pembenar asas nasional pasif adalah bahwa negara berhak melindungi warga negaranya yang berada di luar wilayah teritorial negara tersebut. Berdasarkan hal ini pula, jika negara teritorial yang menjadi tempat dilakukannya kejahatan tidak melakukan atau tidak menerapkan hukum pidananya terhadap pelaku maka, negara yang merupakan negara kebangsaan korban, dianggap memiliki wewenang terhadap kejahatan tersebut untuk memberlakukan hukum pidananya. Adanya asas ini juga sebagai upaya untuk melindungi negara dari ancaman yang datang/dilakukan di luar wilayah negara tersebut oleh orang-orang asing
Dalam prakteknya, asas nasional pasif ini diberlakukan terhadap kejahatan-kejahatan yang dapat mengancam keamanan negara yang berupa penyerangan dengan maksud menghilangkan nyawa Presiden atau Wakil Presiden, makar atau perbuatan untuk merusak kedaulatan negara dan dengan maksud meruntuhkan pemerintahan negara, kejahatan mata uang, kejahatan pemalsuan surat-surat utang atau sertifikat utang yang ditanggung pemerintah Indonesia, pemalsuan talon, surat utang sero atau menggunakan surat palsu, kejahatan pelayaran, kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana /prasarana penerbangan.
Kejahatan-kejahatan yang tersebut di atas merupakan kejahatan yang dapat menimbulkan ancaman terhadap integritas bangsa selain kerugian dalam bidang ekonomi. Oleh karenanya asas ini di sebut juga sebagai asas perlindungan.
Hal ini dapat diterima karena melihat besarnya akibat yang dapat ditimbulkan oleh kejahatan-kejahtan tersebut. Selain itu, apabila hukum pidana nasional tidak diterapkan terhadap pelaku, maka dia dapat meloloskan diri dari jeratan hukum dikarenakan di negara tempat kejahatan tersebut dilakukan, perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai kejahatan. Dengan demikian lembaga ekstradisi sebagai jembatan untuk menghadapkan para pelaku kejahatan lintas teritorial ke muka hukum tidak dapat dilaksanakan.
Persamaan antara asas nasionalitas dalam hukum pidana positif dengan teori Abu Yusuf adalah bahwa setiap orang yang bermukim (berkebangsaan) di suatu negara maka ia harus tunduk pada ketentuan hukum negara tersebut. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya hak serta kewajiban bagi warga suatu negara terhadap negaranya.
Kejahatan yang tunduk terhadap hukum pidana berdasarkan asas kewarganegaraan, penerapannya dalam hukum pidana positif hanya jika pelaku – tanpa melihat kewarganegaraan - melakukan kejahatan-kejahatan tertentu yang dapat mengancam warga maupun negara di luar wilayah teritoir Indonesia, sedangkan dalam teori Abu Yusuf, penerapannya terhadap setiap orang yang bermukim di dar as-salam dan melakukan kejahatan di wilayah tersebut. Adapun kejahatan yang dilakukan di luar dar as-salam, hukum pidana Islam tidak berlaku meskipun pelaku berkebangsaan dar as-salam., dalam artian bahwa hukum pidana Islam tidak dapat diterapkan terhadap pelaku karena keberadaan pelaku di luar wilayah kekuasaan dar as-salam.
Dengan demikian setiap warga Indonesia yang melakukan suatu kejahatan tertentu di dar as-salam dapat dipidana berdasarkan ketentuan hukum pidana yang berlaku di Indonesia dengan memohon agar pelaku dikembalikan ke Indonesia. Adapun terhadap warga dar as-salam yang melakukan suatu kejahatan di Indonesia, menurut teori Abu Yusuf maka upaya untuk mengadili serta menghukumi pelaku diserahkan kepada penguasa yang berwenang di Indonesia. Meskipun demikian dalam mengadili dan memberi hukuman para pelaku kejahatan yang berasal dari dar as-salam di dar as-salam meskipun kejahatan tersebut dilakukan di dar al-harbIndonesia – dianggap lebih baik. 
                       

C.  Penerapan Hukum Pidana Berdasarkan Asas Universalitas

Bila teori Malik, as-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal akan diterapkan maka, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh seorang warga dar as-salam akan dikenai hukuman di manapun kejahatan itu dilakukan. Begitu juga terhadap kejahatan yang dilakukan di dar al-harb, baik pelanggran tersebut merupakan jarimah hudud, qisas-diyat maupun kejahatan yang dihukum dengan hukuman ta’zir.
Terhadap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam oleh penduduk dar al-harb, harus di adili berdasarkan ketentuan pidana Islam di dar as-salam. Hal ini berdasarkan kewajiban negara Islam untuk menegakan hukum terhadap warganya yang melakukan kejahatan.
Upaya untuk menegakkan hukum dalam kasus seperti ini – kejahatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb – dapat ditempuh dengan cara ekstradisi (taslim al-mujrimin). Yaitu permohonan kepada negara yang menjadi tempat dilakukannya kejahatan untuk menyerahkan pelaku ke penguasa dar as-salam..
Dalam konteks kejahatan yang melibatkan dua negara – dar as-salam dan dar al-harbatau lebih, jika seorang warga dar as-salam melakukan suatu kejahatan di Indonesia atau negara yang menerapkan sistem hukum pidana positif maka para penguasa dar as-salam dapat meminta pelaku kepada pemerintah Indonesia untuk mengembalikan warganya untuk diadili di dar as-salam berdasarkan ketentuan hukum pidana Islam.
Dalam pandangan syariat, semua orang Islam mempunyai kedudukan yang sama meskipun berbeda dalam ras dan golongan. Mereka memiliki hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang sama. Syariat Islam meletakan persamaan di luar batas-batas kemampuan akal manusia, oleh karenanya tidak ada yang dianggap istimewa antara pribadi dengan golongan, hakim dan terdakwa, pemimpin dan rakyat sampai antara seorang muslim dengan orang non-muslim, mereka semua mempunyai kedudukan yang sama
Terhadap penduduk zimmiy, dalam masalah penerapan hukum pidana sama halnya seperti seorang muslim. Mereka terikat dalam masalah pidana secara utuh. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa Nabi SAW telah melaksanakan hukuman rajam terhadap orang Yahudi yang berbuat zina.
عن ابن عمر أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم رجم فى الزّنا يهوديّين رجلا وإمرأة زنيا فأتت اليهود إلى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بهما
        
Dalam masalah kejahatan terhadap nyawa, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi SAW memberi hukuman terhadap seorang Yahudi yang telah melakukan pembunuhan.
عن أنس رضي الله عنه أنّ يهوديّا قتل جارية على أوضاح لها فأقاده رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بها

Hal ini yang membedakan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif. Dalam hukum pidana positif, terdapat atau ada pengecualian dalam penerapan perundang-undangn pidana, mereka adalah orang-orang yang mendapat hak immunitas sedangkan dalam Islam Islam hal itu tidak ada.
Terhadap kepala negara asing yang berada di dar as-salam yang melakukan suatu kejahatan tetap dapat diberlakukan ketentuan pidana Islam. Begitu juga terhadap perwakilan diplomatik Islam, terhadap mereka berlaku ketentuan syariat Islam mengenai kejahatan apabila mereka melakukannya.
Kendala yang dihadapi dalam penerapan teori Imam Malik, as-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal adalah dalam masalah penerapan hukum pidana ta’zir, karena setiap dar as-salam dapat bebeda dalam bentuk dan penerapannya. Hal ini dikarenakan pidana ta’zir tidak ditetapkan secara pasti dalam al-Qur’an maupun hadits, oleh karenanya, dalam masalah ta’zir diserahkan sepenuhnya kepada penguasa yang berwenang untuk menentukan bentuk serta pelaksanaannya.
Mengenai jarimah ta’zir terdapat tiga kemungkinan untuk penerapannya:
1.      Bila semua dar as-salam melarang perbuatan tersebut, maka perbuatan tersebut dapat diadili di semua dar as-salam.
  1. Bila dar as-salam di mana pelaku menjadi warganya tidak melarang perbuatan yang dilakukan sedangkan di dar as-salam yang menjadi tempat dilakukannya perbuatan, hal tersebut merupakan suatu pelanggaran, maka pelaku tidak boleh diadili karena perbuatan tersebut baginya tidak dilarang.
  2. Bila di dar as-salam di mana pelaku menjadi warganya suatu perbuatan dilarang sedangkan di dar as-salam berada karena melarikan diri umpamanya, hal tersebut tidak dilarang maka pelaku tidak boleh dihukum di dar as-salam di mana ia berada karena pebuatan yang dilakukan, tidak dilarang di negara tersebut.                    
Para pendatang di dar as-salam (musta’min) juga berlaku ketentuan hukum pidana Islam sebagaimana diberlakukannya ketentuan tersebut terhadap seorang muslim dan zimmiy. Mereka berhak atas hukuman bila melakukan suatu kejahatan di negara tersebut.
Ketentuan terhadap musta’min, hanya berlaku ketika mereka berada di dar as-salam. Bila kejahatan tersebut dilakukan di dar al-harb setelah keluar dari dar as-salam maka, terhadap kejahatan tersebut tidak dapat diterapkan ketentuan pidana Islam. Dengan keluarnya ia dari dar as-salam, statusnya sebagai musta’min menjadi hilang.
Di samping permohonan ekstradisi untuk mengembalikan seorang pelaku kejahatan di dar al-harb untuk diadili dan di hukumi sesuai dengan ketentuan syariat, akan tetapi para pejabat berwenang di Indonesia dapat memberlakukan hukum pidana nasional berdasarkan asas teritorial terhadap pelaku. Hal ini disebabkan kejahatan yang terjadi di suatu wilayah negara tunduk terhadap ketentuan hukum lokal karena negara tersebut yang memiliki kepentingan serta dianggap sebagai negara yang paling mampu untuk melaksanakan penuntutan serta memberi hukuman kepada pelaku.  
Dalam hukum pidana positif, penerapan asas universal dapat diberlakukan terhadap kejahatan yang dianggap sebagai musuh umat manusia. Dengan diakuinya asas ini sebagai dasar bagi pemberlakuan ketentuan pidana maka, dalam hukum pidana terdapat beberapa kejahatan yang terhadap pelakunya dapat di berlakukan hukum pidana negara di mana pelaku berada.  
Berdasarkan asas ini pula setiap negara yang di dalamnya ada pelaku kejahatan yang dapat merugikan kepentingan seluruh negara di dunia maka, negara tersebut dapat memberlakukan hukum pidana nasionalnya tanpa memandang kewarganegaraan pelaku.
Hal ini tentu saja jika negara tersebut menggagap bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah merupakan kejahatan dan pada umumnya setiap negara mengaggap bahwa kejahatan yang tunduk terhadap yuridiksi universal adalah sebuah kejahatan. Berdasarkan hal ini, jelas bahwa tujuan dari adanya asas universal sebagai landasan bagi pemberlakuan hukum pidana adalah untuk menjamin bahwa tidak ada negara yang tidak menghukum kejahatan tersebut (tidak ada yang menganggap bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan).
Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa kejahatan yang tunduk terhadap yuridiksi universal merupakan kejahatan yang tidak mengenal batas-batas negara maupun kewarganegaraan pelaku.
Meskipun asas universal dinggap memiliki peranan yang sangat strategis dalam menanggulangi kejahatan lintas teritorial, akan tetapi dalam penerapannya masih banyak negara yang meragukan. Dalam penerapan asas ini oleh suatu negara dikhawatirkan akan melanggar kedaulatan negara lain.
Hal ini dapat dibenarkan karena setiap negara memiliki kepentingan terhadap kejahatan yang memiliki dimensi internasional. Bagi negara yang merupakan asal pelaku, dapat menuntut pelaku berdasarkan asas kewarganegaraan, bagi negara tempat pelaku berada dapat mendasarkan tuntutan dengan asas teritorial di samping pihak atau negara-negara lain yang memiliki kepentingan. Oleh karenanya menjadi penting untuk mempertimbangkan penerapan asas teritorial suatu negara terhadap kejahatan lintas teritorial yang terjadi di wilayahnya dan mengesampingkan asas universal.
Dalam hukum pidana Islam hal ini dapat teratasi dengan adanya pandangan bahwa setiap negara Islam dianggap sebagai wakil bagi negara Islam lainnya untuk menghukum pelaku kejahatan berdasarkan ketentuan pidana Islam. Berdasarkan pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam penerapan hukum Islam, dalam masalah kejahatan-kejahatan yang telah ditetapkan secara jelas – bentuk dan hukumannya (hudud, qisas) – dalam al-Qur’an maupun Hadits, keberadaan pelaku di luar wilayah negara – Islam – asal pelaku tidak menjadi persoalan dalam penyelesaian hukum. Di samping itu, hal ini tidak akan menimbulkan pertentangan atau kompetensi antar dar as-salam untuk memberi hukuman kepada pelaku. Selama pelaku dihukumi berdasarkan ketentuan pidana Islam maka, hal tersebut telah dianggap cukup dalam mengatasi kejahatan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam masalah kejahatan pidana Islam, disyaratkan adanya nas yang melarang serta menghukum suatu perbuatan jika hal tersebut dilakukan. Dalam penerapannya, nas tersebut haruslah berlaku atau dapat menjangkau tempat di mana perbuatan/kejahatan dilakukan. Selain berlaku terhadap tempat, nas tersebut haruslah berlaku bagi pelaku.
Hal ini terkait dengan pandangan bahwa syariat Islam berlaku secara universal, meskipun demikian dalam penerapannya syariat Islam hanya berlaku di negara-negara yang berada di bawah kekuasaan orang-orang muslim tidak di negara selain negara Islam (iqlimiyyah). Mengenai batasan umum dalam penerapan pidana, bahwa ketentuan pidana Islam berlaku bagi setiap kejahatan yang dilakukan di dar as-salam, tanpa memandang kewarganegaran pelaku dan juga terhadap kejahatan yang dilakukan oleh penduduk dar as-salam di dar al-harb.
Ketentuan ini merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi kejahatan dalam Islam. Upaya ini, meskipun tidak atau belum dapat mewujudkan penerapan ketentuan syariat secara menyeluruh – di setiap negeri, Islam maupun bukan – akan tetapi dengan diberlakukannya hukum pidana Islam bagi para pelaku kejahatan dari dar as-salam di dar al-harb, sedikitnya akan dapat menanggulangi kejahatan dalam dunia Islam yang akibat-akibatnya akan dirasakan juga oleh penduduk negeri-negeri asing (dar al-harb).
Penerapan teori Malik, as-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal oleh negara Islam akan memberi dampak yang baik bagi kelangsungan umat Islam sendiri di dunia internasional. Dengan dihukumnya para pelaku kejahatan yang berkebangsaan dar as-salam karena melakukan kejahatan di dar al-harb akan memberi citra yang positif  bagi umat Islam dalam masalah penegakkan hukum. Selain itu, dengan penerapan yang seperti ini pula hukum Islam akan tetap utuh dalam kehidupan masyarakat.
Berbeda dengan hukum pidana positif, suatu kejahatan yang melibatkan dua negara atau lebih hanya akan dapat dihukum apabila kejahatan tersebut telah disepakati oleh negara-negara yang bersangkutan sebagai suatu kejahatan oleh hukum pidana nasional negara-negara tersebut.
Begitu juga dalam penerapan asas universal sebagaimana telah disinggung di atas bahwa, hal tersebut bukan merupakan hal yang mudah dikarenakan setiap negara merasa berhak terhadap kejahatan tersebut yang pada akhirnya harus ada kedaulatan negara terabaikan atau terjadinya intervensi terhadap kedaulatan teritorial suatu negara. Berdasarkan hal ini pula menjadi penting untuk memberlakukan asas teritorial bagi negara yang di dalamnya terdapat pelaku kejahatan yang memiliki dimensi internasional. Dalam artian bahwa penerapan asas teritorial dapat lebih diutamakan serta mengesampingkan asas universal. Berdasarkan hal ini pula setiap kejahatan yang dilakukan oleh seorang warga dar as-salam dapt ditundukkan pada hukum yang berlaku di Indonesia meskipun antara dar as-slam dan Indonesia dar al-harb memiliki sistem hkum yang berbeda. 
wassalam....